GpOpBUdpGSz7TfA0TSG7TpAlTi==

Headline:

Di Jakarta, Mobil yang Saya Tumpangi Ditarik Paksa Debt Collector


Di sebuah laman media sosial Facebook, saya tak sengaja menonton sebuah tayangan video pendek yang memperlihatkan seorang debt collector (penagih utang) yang menjadi bulan-bulanan massa. Penagih utang itu dipukuli dan ditendang tanpa rasa kasihan. Saya tidak tahu, ending dari pengeroyokan itu: sang debt collector meninggal atau tidak.  

Sebelumnya, Maret 2025, di tempat tinggal saya juga pernah terjadi peristiwa pengeroyokan kepada dua orang debt collector. Videonya juga sempat viral di Facebook. Video memperlihatkan dua orang penagih utang dikeroyok massa di pertigaan Godong, setelah keduanya menarik paksa sebuah sepeda motor di jalan.

Bagi saya, fenomena itu menunjukkan puncak kegeraman warga terhadap debt collector. Para penagih utang itu memang kerap meresahkan. Dalam proses penagihan atau pengambilan paksa motor atau mobil di jalanan, umumnya dengan gaya preman, penuh intimidasi, dan kerap berperilaku kasar.

Debt Collector dalam Perspektif Hukum

Pertanyaan yang mengemuka adalah, sebenarnya bolehkah debt collector menarik paksa motor atau mobil di jalanan?

Secara hukum, sejauh yang saya tahu, kreditur (pemberi utang) memang boleh bekerja sama dengan pihak ketiga yang diberi tugas melakukan penagihan utang (debt collection) kepada debitur. Hal itu diterangkan dalam Pasal 48 ayat (1) POJK 35/2018.

Selanjutnya, pada Pasal 48 ayat (3) POJK 35/2018 menyatakan, kerja sama yang dimaksud harus memenuhi ketentuan:

a. pihak lain tersebut berbentuk badan hukum;

b. pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan

c. pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan.

Jadi, debt collection boleh secara hukum, tapi harus resmi, berbadan hukum, punya izin, dan memiliki sertifikasi di bidang penagihan.

Tak Boleh Kendaraan Ditarik Paksa di Jalanan

Menagih pun ada etikanya. Tidak liar dan bergaya preman.  Sesuai peraturan POJK, penagihan dilaksanakan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Debt collector dilarang melakukan penagihan dengan intimidasi, kekerasan fisik dan mental, ataupun cara-cara lain yang menyinggung SARA atau merendahkan harkat, martabat, serta harga diri penerima pinjaman, di dunia fisik maupun di dunia maya (cyber bullying), baik terhadap penerima pinjaman, harta bendanya, ataupun kerabat, rekan, dan keluarganya.

Soal penarikan paksa motor atau mobil di jalan—karena debitur tidak membayarkan angsuran dalam beberapa waktu—Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) berkali-kali menegaskan bahwa hal itu tidak boleh.

Ketika mengalami gagal bayar kendaraan, konsumen mempunyai hak untuk tidak ditarik kendaraan mereka di jalanan. Hal tersebut sesuai dengan Putusan MK Nomor 71/PUU-XIX/2021. Kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Setelah itu, pengadilan yang memutuskan terkait penarikan kendaraan bermotor akibat kredit macet.

Jadi, dalam bahasa awamnya, kreditur tidak boleh menarik paksa kendaraan di jalanan akibat kredit macet. Apalagi ditarik dengan sewenang-wenang melalui pihak ketiga, dalam hal ini debt collector. Keputusan penarikan harus berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri.

Dari sisi debitur atau konsumen yang dirugikan akibat kendaraannya ditarik paksa di jalanan, dapat melakukan pengaduan ke BPKN-RI melalui Play Store/App Store BPKN 153 dan OJK melalui layanan kontak OJK 157.

Debt collector yang melakukan tindak kekerasan, baik fisik maupun verbal, kepada debitur, bisa dipidanakan. Jadi, sebaiknya juga, masyarakat tidak main hakim sendiri. Tapi, saya berkesimpulan—meski tetap tidak membenarkan, main hakim sendiri merupakan ekspresi puncak kekesalan masyarakat karena proses hukum yang dinilai kerap tidak efektif.   

Pengalaman “Mengalami” Penarikan Paksa Mobil di Jalanan

Saya pribadi punya pengalaman yang cukup menggidikkan bulu roma. Ceritanya, saya punya agenda mengikuti sebuah pelatihan ath-thibb an-nabawi di Bekasi selama dua hari. Sekitar bulan September-Oktober 2017.

Rencana, saya berangkat naik kereta api dari Stasiun Tawang, Semarang. Tapi, seorang teman yang tinggal di Solo, menawari saya ikut bersamanya, naik mobilnya menuju ke Bekasi. Karena dia hanya bertiga—dia  bersama dua teman lainnya, jadi mobil masih longgar.

“Lebih santai, dan bisa ngobrol-ngobrol,” katanya, membujuk.

Akhirnya, dengan pelbagai pertimbangan, saya menyetujui. Siang hari, sebelum hari H, saya sudah sampai di terminal Solo. Saya pun dijemput dan kami bergegas menuju ke Bekasi.

Kami tiba di Bekasi malam hari, langsung menuju lokasi pelatihan, yang memang sudah include dengan tempat menginap. Kami segera rehat dan bangun pagi-pagi serta salat Subuh berjemaah di masjid terdekat.

Singkat cerita, pelatihan dua hari telah kami lampaui. Hari berikutnya, kami bersiap pulang. Tapi, oleh pihak panitia, sebelum pulang kami diajak berkunjung ke sebuah pabrik yang memproduksi herbal di Depok. Kami pun ikut meluncur ke pabrik yang dimaksud.

Nah, drama terjadi sepulang kami dari pabrik. Baru keluar dari pabrik sekitar satu kilometer, di jalanan yang tak terlalu ramai, tiba-tiba mobil yang saya tumpangi dicegat beberapa orang. Sangat menegangkan. Kejadiannya berlangsung begitu cepat.

Salah seorang pencegat—yang kemudian saya ketahui sebagai debt collector, langsung memaksa masuk ke mobil samping sopir—sopirnya teman saya yang punya mobil. Sedang teman saya yang berada di jok depan itu, diminta keluar dan digelandang ke mobil para debt collector.

Oleh seorang debt collector, yang kini berada di samping teman saya yang mengemudikan mobil, laju mobil diarahkan ke sebuah tempat. Teman saya yang sempat beradu mulut dengan si penagih utang, sempat melawan.

Terjadilah oyok-oyokan setir mobil, antara teman saya dengan si penagih utang. Mobil sempat oleng ke kanan dan ke kiri. Hal itu terjadi beberapa kali. Saya dan seorang teman yang duduk persis di belakang, tentu takut kalau-kalau mobil menabrak mobil lainnya. Atau menabrak pembatas jalan.    

Saya sendiri tidak tahu apa yang harus saya lakukan menghadapi situasi ini. Saya belum pernah mengalami sebelumnya dan juga belum pernah mengkaji apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini.

Ketika itu, saya hanya menanyakan surat tugas kepada si penagih utang dan dia pun menyodorkan surat tugas itu kepada saya. Saya membacanya sekilas, karena saya lebih panik dengan situasi mobil yang berjalan tidak stabil. 

Akhirnya, teman saya nyerah. Mobil pun melaju ke kantor debitur yang ada di Jakarta. Tiba waktu Magrib. Kami turun dari mobil dan segera mencari masjid terdekat untuk salat. Setelah salat, teman saya yang punya mobil mengurusi mobilnya, sedang kami bertiga memutuskan naik ojol kembali ke lokasi pelatihan untuk rehat semalam lagi.

Keesokan harinya, karena sudah capek, lahir dan batin, saya memutuskan pulang naik pesawat. Dari Bekasi, saya naik ojol ke Bandara Soetta, lalu terbang ke Semarang. Dari Semarang naik ojol lagi, tiba di rumah malam hari.

Saya ceritakan ke istri pengalaman dengan debt collector yang menegangkan itu. “Besok lagi kalau numpang mobil teman, tanyakan dulu, kreditnya nunggak tidak,” respons istri sembari ketawa. Saya pun ketawa, tipis. Haha…

Saya selalu mengingat kejadian itu bila membaca berita pengeroyokan debt collector. Kejadian itu pula yang mengantar saya membaca aspek-aspek hukum bila menghadapi situasi seperti itu (lagi). Semoga tulisan ini bermanfaat.

Referensi

Tim Hukum Online. Debt Collector di Mata Hukum dan Etika Penagihan Utang. Hukumonline.com edisi 16 Februari 2022.

BPKN dan OJK Tegaskan, Debt Collector Tak Boleh Tarik Kendaraan di Jalan. Bpkn.go.id edisi

Daftar Isi

 


 


Formulir
Tautan berhasil disalin