![]() |
Buku berjudul "Kutukan Tujuh Turunan" karya Yunus Suryawan. |
Saat menyelesaikan pendidikannya di STPDN (sekarang IPDN),
dan menjelang detik-detik perpisahan dengan para adik kelasnya, Mas Yunus
justru ‘sibuk’ menuliskan serangkaian kenangan di almamaternya itu.
Setelah selesai, tulisan itu diketik rapi di komputer, di-print,
kemudian digandakan, lalu dijilid rapi. Tulisan itulah yang kemudian dijadikan
sebagai “cenderahati” (baca: hadiah buat kenang-kenangan) bagi adik-adik
kelasnya.
“Penulisan tulisan itu dilatarbelakangi oleh permintaan
sahabat-sahabat saya, sebagai kenang-kenangan dari sahabat atas kepergiannya,
karena sudah waktunya purna praja,” kata Mas Yunus dalam pengantarnya pada tulisan tersebut.
Ia berpikir, bila memberi kenang-kenangan berupa barang, itu
pemborosan. Misal @Rp. 5000, bisa dapat semangkuk bakso (harga ketika itu),
tapi 10 menit habis. Rp 5000 x 300 orang = Rp. 1.500.000.
Berpijak dari kalkulasi itu, ia pun memberikan ide ini
kepada para sahabatnya, adik-adik kelasnya. ”Karena Rasulullah Saw pun
meninggalkan tulisan untuk umatnya, mengapa kita tidak,” tegasnya.
Akhirnya, tulisan—lebih tepatnya naskah kumpulan tulisan—itulah
yang menjadi ”cinderahati” Mas Yunus bagi para adik kelasnya di STPDN. Sebuah
”cinderahati” yang berharga, buah dari semangat untuk mengabadikan kenangan,
memaknai arti kehidupan, agar terus abadi menembus zaman.
Tragedi Kekerasan
Bertahun kemudian, IPDN bergolak. Kematian Cliff
Muntu, salah satu praja IPDN, pada Selasa (3/4/2007) mencuatkan wacana publik
adanya kekerasan di IPDN. Publik geram. Saya pun turut geram.
Kebetulan, ketika itu saya sudah akrab dengan Mas Yunus,
bahkan saya diajak Mas Yunus menjadi pengurus (bidang keagamaan) di
yayasan yang didirikannya bersama sejumlah temannya alumni STPDN.
Atas tragedi kekerasan di IPDN yang merenggut nyawa salah
satu praja itu, kemudian saya mengusulkan agar Mas Yunus, beserta
teman-temannya alumni STPDN, menulis buku dengan judul ”Memutus Mata Rantai
Kekerasan di IPDN”. Setidaknya sebagai wujud kepedulian alumni kepada
almamaternya dalam bentuk sumbang gagasan.
Saat itu, Mas Yunus menjadi Kasi Trantib di Kecamatan
Godong di mana saya tinggal. Keesokan harinya, Mas Yunus malah menyodori saya sebuah
naskah kumpulan tulisan yang dijadikannya sebagai cinderahati saat ia purna praja
dulu. Naskah ketikan komputer itu, sudah lusuh dan kotor.
Namun, saat membacanya, insting saya sebagai penulis
langsung terkesiap dan serta merta berkata, “Tulisan ini bagus dan layak
diterbitkan”. Tulisan itu sendiri berisi pesan, kesan, dan kenangan selama Mas
Yunus menempuh pendidikan di kampus STPDN.
Di dalamnya, ia “memotret” hampir semua sisi kehidupan di kampus STPDN. Sehingga membaca tulisan-tulisan itu, kita seperti diajak menjelajah kisi-kisi kehidupan di kampus STPDN, termasuk kita akan mengetahui “banyak hal” yang saat itu tengah menjadi sorotan media massa, seperti budaya kekerasan, GTM (Gerakan Tutup Mulut), kasus free sex, sosok Pak Inu Kencana, dan lain sebagainya.
Karena penulis memiliki latar belakang aktivis kerohanian
Islam—pernah menjadi Ketua Lembaga Dakwah Kampus (LDK), hampir semua tulisannya
itu dipenuhi nyala gairah dakwah yang terang, agar nilai-nilai Islam dapat
mengilhami kehidupan kampus STPDN.
Naskah Itu pun Terbit
Naskah itu kemudian diserahkan kepada saya untuk saya edit. Karena
tidak ada softcopy-nya, saya coba pakai word scan untuk memindai dan mengopinya dalam bentuk file. Tapi hasilnya sejumlah huruf dan kata tidak
terbaca. Tapi lebih mendingan ketimbang harus mengetik ulang. Walau yang
terjadi kemudian, saat mengeditnya, butuh effort khusus.
Dalam proses penyuntingan naskah itu, saya tidak hanya
bertugas menyunting, tapi juga “menggunting” beberapa teks yang bila dibiarkan
akan rentan menimbulkan polemik dan kontroversi.
![]() |
Desain kaver buku "Aku Seniormu, Bukan Kakakmu!" yang gagal terbit. |
Tak lama kemudian, dapat balasan bahwa naskah itu disetujui
untuk diterbitkan. Bahkan setelahnya saya sempat mendapatkan kiriman desain kover
calon buku dengan judul yang saya sematkan. Desain kavernya, menurut saya, keren.
Tapi sayangnya, buku itu gagal terbit, karena ketika itu sedang
heboh buku Pak Inu Kencana (dosen IPDN) yang berjudul IPDN Undercover—yang
disomasi pihak IPDN karena dinilai bermuatan fitnah.
Namun, qadarullah, buku yang disebut penerbitnya sebagai atau berasal dari 'dokumen rahasia' itu akhirnya terbit juga dengan penerbit berbeda dengan judul baru ”Kutukan Tujuh Turunan” yang juga diambil dari salah satu judul tulisan di naskah itu. Cetakan pertama, 2007.
Berkat buku itu, Mas Yunus diundang di acara Kick Andy di MetroTV. Diwawancarai Andy F. Noya bareng Pak Inu Kencana dan juga diundang di sejumlah acara bedah buku.
![]() |
Mas Yunus (tengah) saat tampil di Kick Andy Metro TV. |
Kisah Mas Yunus di atas sangat menarik dan menyemburakan inspirasi tentang spirit mengabadikan
kenangan dan hikmah kehidupan sebagai ”cinderahati” bagi orang-orang tercinta.
Spiritnya adalah: tulislah kisahmu, pengalamanmu,
kenanganmu, atau cara kamu memaknai suatu peristiwa dalam kehidupanmu, siapa
tahu, kelak ia akan menjadi ‘dokumentasi tertulis’ yang bermanfaat dan
menginspirasi banyak orang.
Seperti halnya Mas Yunus, dulu RA Kartini juga tidak pernah menyangka,
surat-surat yang dikirim ke sejumlah sahabatnya di Belanda, kelak
sepeninggalnya, dikumpulkan dan dibukukan. Terbitlah buku berjudul “Habis Gelap
Terbitlah Terang” yang menginspirasi bangsa Indonesia.
Itulah hadiah terindah, yang akan terus abadi menembus zaman. Seperti kata Benjamin Franklin, "Jika kau tidak ingin dilupakan segera setelah berkalang tanah nantinya, tulislah sesuatu yang layak dibaca, atau lakukan sesuatu yang layak ditulis."
*Tulisan ini tayang pertama kali di Kompasiana.com edisi 18 Desember 2011 dengan judul “Membukukan Kenangan, Memaknai Kehidupan (Menyerap Spirit dari Kisah Yunus Suryawan)". Diposting ulang di blog ini dengan penambahan dan editing seperlunya.