![]() |
PRODUKTIF: Badiatul Muchlisin Asti menunjukkan buku karyanya yang sudah diterbitkan. (FIKRI THOHARUDIN/RADAR KUDUS) |
Penggiat literasi asal Grobogan, Badiatul Muchlisin Asti, meresahkan kurangnya sumber-sumber bacaan dan referensi seputar daerah tempat tinggalnya. Dia kemudian merintis rumah pustaka hingga memfasilitasi penerbitan karya bagi masyarakat.
Oleh FIKRI THOHARUDIN, Grobogan, Radar Kudus
Belum banyak orang yang tahu. Dua menit perjalanan dari terminal Godong, Grobogan, ada Rumah Pustaka BMA yang dapat dikunjungi secara gratis.
Di rumah pustaka itu, terdapat setidaknya 10 ribu judul buku yang menjadi suguhan bagi para pengunjung.
Saat Jawa Pos Radar Kudus datang, tepatnya di Jalan Moch Kurdi, RT 9/RW 2, Desa Bugel, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, Badiatul Muchlisin Asti menyalami dengan senyum ramah.
Deretan buku tampak memenuhi ruang yang terbagi menjadi beberapa sekat. Bahkan, terdapat puluhan buku yang hanya bertumpuk di lantai. Sebab, tak kebagian rak.
”Seorang pembaca hidup seribu kali sebelum meninggal. Orang yang tidak pernah membaca hanya hidup satu kali." Bunyi kutipan George RR Martin yang sengaja dipajang ditembok di dalam Rumah Pustaka BMA itu.
Pria berumur 47 tahun itu mengungkapkan, buku yang menyesaki rumah sekaligus tempat yang dijadikannya sebagai taman baca itu merupakan koleksi pribadi.Setidaknya sejak sekolah menengah.
Dibukanya rumah pustaka tersebut, ditujukan bagi masyarakat setempat, agar dapat mengakses bacaan. Setelah membaca, harapannya agar terpantik untuk berkarya menulis.
”(Rumah Pustaka BMA) dibuka sejak pandemi. Tepatnya 7 November 2020," ingat Asti.
Dia bermaksud untuk menjadikan membaca sebagai budaya dan upaya pemberdayaan. Bukan hanya untuk akademisi, tapi juga masyarakat umum.
”Kami biasa dropping atau memberi bantuan buku kepada teman-teman yang juga punya taman baca di daerahnya," tuturnya.
Selain misi persebaran bahan literasi, Asti juga mengupayakan potensi lokal. Utamanya yang bernas sejarah dan kebudayaannya dapat terdokumentasi sebagai buku.
Menurut pergumulannya dalam dunia literasi sejak 2000-an, masih jarang ditemukan buku-buku yang mengulas mengenai Grobogan.
Sudah 70-an buku multitema yang telah ditulis. Kini, Asti sedang menyiapkan naskah untuk dapat dijadikan referensi atau pegangan terkait sejarah.
”Blora saja punya ensiklopedia sejumlah 10 jilid, kalau kita (Kabupaten Grobogan, Red) kan belum punya. Sehingga ini akan jadi langkah kecil untuk menepis ungkapan wong Grobogan ilang Grobogane," tegasnya.
Tak sedikit anak muda yang belum tahu sebetulnya di Kota Swike ada banyak tokoh besar pada masa lalu.
”Ada Ki Ageng Tarub, Ki Ageng Selo, dan Ki Ageng Getas Pendowo. Leluhur Gus Dur dan Bung Karno juga ada di sini (Grobogan, red)," contohnya sambil menanyakan riwayat sosok tersebut.
Narasi tentang tokoh-tokoh yang ada tak jarang masih kental dengan sintesis mistik, seperti Ki Ageng Tarub yang diceritakan mencuri selendang serta menikah dengan bidadari. Termasuk cerita Ki Ageng Selo pada bagian menangkap petir.
”Dalam hemat saya, cerita tersebut bukan petir sungguhan sebagai fenomena fisika. Melainkan kiasan, yakni pujian terhadap akhlak dari Ki Ageng Selo itu sendiri," terang Asti.
Meski tak bisa dimungkiri, jika cerita tersebut, telah mengakar dalam kehidupan warga. Namun menurut Asti, masyarakat berhak memiliki referensi yang dihasilkan dari riset dan pendekatan rasional dan empiris. Mengacu pada babad, serat, hingga sumber-sumber yang ada.
”Kesadaran akan dokumentasi yang mengupas kearifan lokal Grobogan nyaris belum ada. Jika pun ada, narasi sejarah tidak dimunculkan secara utuh," tuturnya.
Tradisi membaca dan menulis di masyarakat yang belum terbangun secara kuat membuat tantangan tersendiri.
”Ke depan, harapannya ada buku yang bisa bersifat referensi dan bisa diakses masyarakat. Termasuk yang berisi tentang potensi lokal," tandasnya sembari mengajak khalayak untuk membaca dan berkarya.
Asti menawarkan, ia memiliki penerbit yang bisa digunakan sebagai fasilitas merekam jejak-jejak yang masih bisa dilihat. Dengan menuliskannya sebagai buku. Dia sendiri, sudah menerbitkan 70-an judul buku.
”Saya punya penerbit sendiri untuk menerbitkan buku bagi guru, mahasiswa, ataupun warga. Sudah banyak jumlahnya. Lupa saya pastinya,” imbuhnya.
*Dimuat di radarkudus.jawapos.com edisi Rabu, 6 Maret 2024, dengan judul "Sosok Badiatul Muchlisin Asti, Penggiat Literasi Asal Grobogan yang Merintis Rumah Pustaka hingga Fasilitasi Penerbitan Karya."