![]() |
Badiatul Muchlisin Asti (paling kanan) saat menyampaikan materi tentang buku karyanya. (Foto: Sekar S) |
Bolehkah wanita haid memotong kuku dan rambut? Juga, kalau memotong kuku dan rambut, haruskah disimpan lalu ikut dimandikan kalau sudah berhenti dari haid? Lalu, bagaimanana hukum minum obat penahan haid? Bagaimana sikap suami menghadapi istri yang sedang haid?
Itulah di antara pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka pada acara bedah buku “Meraup Pahala Kala Haid Tiba” karya Badiatul Muchlisin Asti dan Ririn Rahayu Astuti Ningrum yang digelar Jumat (15/2/2013) di Gerai Bisnis UKM, Jl. A. Yani 235 Purwodadi, Grobogan.
Bedah buku yang dihadiri para muslimah dari kalangan remaja dan ibu rumah tangga itu menghadirkan salah seorang penulis buku tersebut, Badiatul Muchlisin Asti, dan dua pembicara: dr. Mei Hartuti (dokter) dan Tulus Kurniawati (aktivis Muslimah).
“Sepanjang yang saya tahu, tidak ada nash yang melarang seorang muslimah memotong kuku dan rambut. Juga tidak harus menyimpan potongan rambut dan kuku itu untuk ikut dibasuh saat mandi setelah suci dari haid,” tutur Badiatul Muchlisin Asti.
Saat menjawab pertanyaan bolehkah seorang wanita meminum obat penahan atau anti haid, Badiatul menyatakan bahwa haid adalah siklus alami yang telah ditetapkan oleh Allah untuk wanita, sebagaimana sabda Nabi yang menyatakan inna hadza amrun katabahullahu ‘ala banati adam.
“Sesungguhnya masalah ini (haid) sudah merupakan ketentuan Allah Swt atas setiap perempuan anak-cucu Adam,” tutur Badiatul menyitir hadis sahih riwayat Bukhari.
Menurut Badiatul, pasti ada hikmah di balik penetapan haid bagi seorang wanita. Karena itu, sebaiknya seorang muslimah menerima ketentuan Allah itu. “Sedang hukumnya, sebagian ulama menyatakan boleh, namun makruh karena berpotensi mendatangkan efek samping negatif,” tutur Badiatul.
Lebih lanjut Badiatul menyatakan, sebaiknya minum obat anti haid itu dihindari karena ada hadis yang menyatakan laa dharara walaa dhirara. Janganlah membahayakan diri sendiri dan orang lain.
“Kecuali dalam keadaan tertentu, para ulama memandangnya sebagai rukhshah atau dispensasi, misalnya dalam pelaksanaan ibadah haji. MUI (Majelis Ulama Indonesia) bahkan pernah mengeluarkan fatwa yang menyebutkan bahwa penggunaan obat anti haid untuk kesempurnaan ibadah haji hukumnya adalah mubah,” terang penulis yang telah menerbitkan puluhan buku itu.
“Tilawah Kemesraan”
Menjawab pertanyaan peserta, bagaimana sikap suami menghadapi istri yang tengah haid, Tulus Kurniawati menyatakan bahwa hal ini sebetulnya merupakan salah satu masalah bagaimana cara mengatur komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan yang sedang haid yang tiba-tiba uring-uringan harus disikapi dengan bijak oleh para suami.
Kondisi haid, tutur Tulus lebih lanjut, juga jangan lupa nanti akan terjadi saat wanita hamil, adalah kondisi ketika hormon-hormon wanita sedang tidak normal. Dalam kondisi labil seperti ini para suami harus siap ekstra.
“Kalau boleh saya sampaikan, para suami duduk saja, dekati istri, dan mesrai. Tidak usah banyak omong. Nanti malah jadi panjang. Dekati dan sayangi saja. Cukup,” tutur Direktur Rahmania Islamic School (RIS) Purwodadi itu.
Badiatul Muchlisin Asti menambahkan, Rasulullah sebagai figur seorang suami juga telah memberi keteladanan bagaimana menyikapi istri yang sedang haid. Rasulullah tetap berlaku mesra dan romantis dengan istrinya yang haid.
Badiatul menyebutkan sejumlah riwayat, di antaranya Rasulullah tidur satu selimut dengan istrinya, mandi bersama, membersihkan darah haid istri, bahkan duduk di pangkuan istrinya yang sedang haid sambil membaca Al-Qur’an.
“Ini namanya ‘Tilawah kemesraan’. Tilawah Al-Qur’an sambil tiduran di pangkuan istri. Mesra sekali bukan?” tukas Direktur Penerbit Oase Qalbu itu.
Sementara itu, dr. Mei Hartati yang sehari-hari bekerja sebagai Kasi KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Grobogan lebih banyak mengulas berbagai persoalan haid yang biasa dihadapi wanita, antara lain nyeri haid, haid tidak teratur, dan lain sebagainya.
*Tulisan berasal dari blogjpin.wordpress.com, edisi 20 Februari 2013.