![]() |
Saya saat menyampaikan materi bimtek kepenulisan konten berbasis budaya lokal tahap kedua di aula Dinarpusda Grobogan, pada Kamis (12/6/2025). (Dokumentasi panitia) |
Setelah membersamai Pelatihan Menulis Esai dan True Story yang diadakan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) Kabupaten Grobogan pada Sabtu (26/4/2025), sekitar satu setengah bulan kemudian, pada Kamis (12/6/2025) saya berkesempatan membersamai Bimtek Kepenulisan Konten Berbasis Budaya Lokal yang dihelat Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (Dinarpusda) Kabupaten Grobogan.
Menariknya, kedua even itu sama-sama menargetkan keluaran
berupa buku antologi. Sehingga pelatihan tidak sekadar pelatihan, bimtek tidak
sekadar bimtek, tapi ada hasil yang bisa menjadi “kenangan bersama” sekaligus
menambah koleksi literasi daerah.
Tradisi seperti itu, hemat saya, perlu dilazimkan. Karena,
mau tidak mau, peserta dipaksa menulis sebagai komitmen keikutsertaannya. Siapa
tahu, dari sekian peserta, ada yang terpicu dan terpacu memasuki dunia menulis
secara lebih dalam. Lahirlah penulis-penulis baru yang siap mewarnai jagat
literasi. Karena “membibit” penulis juga bukan perkara gampang.
Merawat Kearifan Lokal Melalui Tulisan
Bimtek kepenulisan yang dihelat Dinarpusda Grobogan bermisi
merawat kearifan lokal. Temanya “Merawat Kearifan Lokal Melalui Tulisan”. Bimtek
diadakan di aula Dinarpusda Grobogan dan diikuti 60 peserta.
Ada tiga narasumber yang diundang mengisi bimtek ini. Selain
saya; ada Yunus Suryawan, seorang camat yang juga pemerhati budaya dan telah
menulis sejumlah buku; dan Lia Herliana, penulis produktif yang saya kenal
karya-karyanya, terutama dalam bentuk cerita anak.
Sebelum bimtek kepenulisan dimulai, terlebih dulu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. (Dokumentasi panitia) |
Saya dan Mbak Lia—begitu saya akrab menyapanya, kebagian mengisi
bimtek tahap kedua, yang dilaksanakan pada Kamis (12/6/2025). Saya kebagian materi
teknis menulis konten berbasis budaya lokal, sedang Mbak Lia kebagian materi
penyuntingan.
Saat menyampaikan materi, saya mengawalinya dengan “mengulang”
kembali apa yang mungkin telah disampaikan Mas Yunus. Apa itu budaya lokal? Dan
apa saja budaya lokal Grobogan? Saya mengajak para peserta berpikir (kembali) sejenak
dan melakukan curah gagasan.
Tak sedikit peserta yang setelah mendengarkan paparan saya
mengenai budaya lokal, berpikir ulang tentang budaya lokal yang akan
ditulisnya. Saya memang mengajak peserta memprioritaskan menulis budaya lokal
yang benar-benar unik, eksotis, dan istimewa.
Sehingga keluaran buku antologi tulisan berbasis budaya
lokal itu nantinya benar-benar menampilkan kekayaan budaya lokal Grobogan yang wow. Baru setelah itu, saya masuk ke materi proses kreatif
menulis konten berbasis budaya lokal.
Proses Kreatif Menulis Konten Budaya Lokal
Saya menjuduli materi salindia saya “Proses Kreatif Menulis
Konten berbasis Budaya Lokal” dan mendisclaimer bahwa apa yang saya sampaikan
berdasarkan proses kreatif saya saat menulis tulisan tentang budaya lokal.
Sejak lima tahun terakhir, saya memang intens menulis
bertema budaya lokal ke sejumlah media cetak dan daring. Sehingga apa yang saya
sampaikan memang berdasarkan pengalaman pribadi menulis tulisan berbasis budaya
lokal.
![]() |
Bimtek kepenulisan konten berbasis budaya lokal tahap kedua dipandu oleh Kabid Perpustakaan Dinarpusda Grobogan, Kurniawan. (Dokumentasi panitia) |
Setelah menentukan topik, menggali data adalah tahap paling
krusial yang harus dilewati seorang penulis. Saya sangat menandaskan pentingnya
menggali data ini, karena ia menjadi kunci keberhasilan tulisan yang akan
ditulis.
Menggali data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan
riset pustaka dan sumber-sumber tertulis lainnya. Observasi langsung ke objek
yang dipilih sebagai topik tulisan, sangat saya rekomendasikan. Karena dengan
melihat langsung, vibrasinya akan jauh berbeda dengan bila tanpa melihatnya.
Dengan melihat langsung, peserta akan mendapatkan banyak
data melalui panca inderanya, sehingga akan lebih mudah mendeskripsikan dengan baik
ke dalam tulisan.
Saya pun menceritakan pengalaman pribadi saat hendak menulis
keunikan tradisi sedekah bumi di Desa Sugihmanik, Kecamatan Tanggungharjo, yang
berlangsung dua hari. Saya datang dan menyaksikan langsung prosesi sedekah bumi
di desa itu. Bahkan pada hari kedua, saya rela berangkat mruput dari
rumah bakda Subuh dengan tujuan agar saya dapat menyaksikan prosesi penting
yang berlangsung pagi hari.
Data yang menjadi topik tulisan juga perlu digali
sebanyak-banyaknya. Selain melalui observasi langsung, juga dengan cara
mewawancarai sejumlah narasumber berkompeten dan riset pustaka.
Data yang banyak akan menjadikan seorang penulis lebih
leluasa memilih dan memilah mana yang perlu dan tidak perlu dimasukkan ke dalam
tulisan. Tulisan yang mbulet dan tidak mudah dicerna pembaca, umumnya bermula
dari data yang minim.
Setelah penggalian data, menulis merupakan tahapan selanjutnya
yang juga krusial. Apalagi bagi pemula, sangat banyak kendala yang dihadapi.
Tapi setiap kendala pasti ada solusinya. Kuncinya, jangan pernah menyerah. Tak
ada tulisan pertama yang bagus, seperti tak ada orang belajar naik sepeda yang
langsung bisa, kata saya.
Tips Menulis Konten Budaya yang Memikat
Dalam kesempatan itu, saya juga menyampaikan tips menulis
konten budaya yang memikat. Di antaranya, jangan mengulang apa yang sudah
ditulis penulis lain. Beri impresi dan aksentuasi yang berbeda saat harus
menulis topik yang sama, bisa dari sudut pandang yang belum pernah ditulis atau
informasi yang jauh lebih lengkap dan kaya.
Saat menuliskannya, pastikan memilih diksi yang tepat,
logis, beri impresi, ada sentuhan kreativitas, agar tulisan kita lebih memikat
dan bertenaga.
Saya juga menyarankan untuk menulis topik budaya yang belum
pernah ditulis sama sekali sebelumnya. Di Grobogan ini, banyak sekali budaya
lokal yang masih sulit diakses informasinya karena memang belum pernah ditulis.
Kalaupun sudah ditulis, masih dalam tahap dokumentasi internal dalam tulisan
yang sederhana dan belum pernah diunggah ke media publik.
Tugas penulis adalah menggali data-data yang masih undercover seperti itu. Pasti banyak tantangan dan tentu butuh upaya khusus (effort). Tapi
bila berhasil, kepuasan batin akan lebih terasa, sekaligus kita akan menjadi
pelopor yang tulisan itu akan banyak dijadikan rujukan.
Serba-serbi Bimtek Penulisan Dinarpusda Grobogan
Sehari membersamai bimtek, terasa sangat menyenangkan. Pertama;
saya bisa bertemu (kembali) dengan teman-teman yang sebelumnya sering mengikuti
pelatihan menulis yang saya menjadi salah satu narasumbernya.
![]() |
Menyerahkan buku dan diterima langsung Kepala Dinarpusda Grobogan, Supriyanto. (Dokumentasi panitia) |
Ketiga; saya bisa menyumbangkan buku karya saya dan terbitan
CV. Hanum Publisher yang saya kelola, di antaranya buku saya yang berjudul “Riwayat Kuliner Indonesia: Asal-usul, Tokoh, Inspirasi, dan Filosofi” ke Perpustakaan Daerah Grobogan sebagai
tambahan koleksi.
Buku diterima langsung oleh Kepala Dinarpusda Grobogan yang sudah
saya kenal cukup lama, di sela acara bimtek.
Keempat; bimtek kepenulisan ini
mempertemukan saya kembali dengan Mbak Lia. Sekitar sebelas tahun lalu, saya pernah
sepanggung dengan Mbak Lia sebagai narasumber acara Seminar Jurnalistik “Asyiknya Dunia Menulis dari Fiksi sampai Nonfiksi” yang digelar oleh Pimpinan Ranting
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) SMP Muhammadiyah Purwodadi, pada Sabtu
(22/2/2014).
![]() |
Berfoto bersama usai bimtek kepenulisan konten berbasis budaya lokal tahap kedua. (Dokumentasi panitia) |
Pertemuan itu menjadi nostalgia tersendiri bagi saya bahwa
dulu saya pernah membersamai para remaja menemukan jati dirinya melalui lembaga yang
saya dirikan. Puji Retno bahkan mengirimi saya lewat WA pindaian sertifikat
kepanitian even bertajuk Pelatihan Manajemen Kepribadian Muslimah yang saya adakan pada tahun 2001, yang masih disimpannya.
Selebihnya, saya sangat berharap, dari bimtek ini terbit
sebuah buku antologi tulisan bertopik budaya lokal Grobogan yang berkualitas.
Semoga.