GpOpBUdpGSz7TfA0TSG7TpAlTi==

Headline:

Saya Bermimpi Menulis Artikel di Koran (1)

Saya saat menyampaikan materi teknis menulis esai dalam Lokakarya Penulisan Esai dan Cerpen yang diadakan Balai Bahasa Jawa Tengah dan Forum Silaturahmi Penulis Grobogan di Hotel Front One Purwodadi, pada Sabtu, 27 April 2019. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti)

Tulisan ini berisi kisah perjalanan awal saya menekuni dunia kepenulisan. Apa yang memantik saya sehingga saya terjun di dunia kepenulisan? Bagaimana awal memulainya hingga bisa seperti sekarang ini—meski saya bukan penulis top skala nasional? Tulisan ini merupakan repost dari blog FSPG, dan karena panjang, maka tulisan saya bagi menjadi dua bagian. Silakan membaca bila tertarik. Semoga menginspirasi. 

_______________________________

Saya lahir di Dusun Berukudon—sekarang dipecah menjadi dua dusun, yakni Dusun Beru dan Kudon, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan. Desa Kalirejo, bagi saya, adalah desa kecil yang permai. Tempat saya menghabiskan masa kecil yang penuh kenangan di penghujung tahun 1970-an dan sepanjang tahun 1980-an.

Desa yang di tahun-tahun itu sangat tenang dan damai selayaknya desa-desa lainnya. Masa kecil saya, saya habiskan dengan belajar, mengaji, sekolah (pagi dan sore), dan bermain dengan teman-teman. Menonton televisi sangat jarang, karena ketika itu baru sedikit yang punya televisi. Juga stasiun televisi ketika itu baru ada TVRI satu-satunya.

Sewaktu saya SD, bahkan bila ingin menonton televisi, harus jalan kaki menuju ke kantor kecamatan, yang lumayan jauh. Baru setelah pertengahan tahun 1980-an, warga kampung mulai ada yang memiliki televisi. Masih televisi hitam putih tentunya, dengan tenaga aki yang bila mau habis, gambar di layar menjadi mengkeret atau mengecil.

Satu-satunya hiburan di rumah adalah radio dan radio kaset (tape). Ayah saya, ketika itu, setiap hari menyetel lagu-lagu kasidah dari group Nasida Ria Semarang. Sehingga saya banyak hafal lirik lagu-lagu kasidah, seperti Tahun 2000, Perdamaian, Jilbab Putih, Kota Santri, dan sebagainya. 

Nasida Ria Semarang. Lagu-lagunya banyak saya hafal karena ketika kecil, ayah saya sering menyetelnya. (Istimewa)
Belum banyaknya stasiun televisi ketika itu menjadikan kami punya banyak waktu untuk bermain. Selain main bola, kasti, bedil-bedilan, betengan, gobag sodor, jithungan, dan lompat tali, serta permainan tradisonal seru lainnya, kami juga menghabiskan waktu main layangan, berenang di sungai—meski sungai sedang meluap dan arusnya sedang deras, bekejaran di dalam airnya yang jernih bila sungai tidak sedang banjir, dan kalau pas musim jangkrik, kami berburu jangkrik di tegalan, kadang kami melakukannya malam hari.

Itu nostalgia yang sangat indah dan penuh memorabilia masa kecil saya yang mungkin tidak pernah akan terulang. 

Saya masih ingat, awal tahun 1990-an, orangtua saya termasuk yang sudah memiliki televisi. Salah satu acara kegemaran kami, yang selalu kami tunggu-tunggu, adalah ketoprak sayembara. Bila jadwal ketoprak sayembara tiba, rumah saya selalu penuh tetangga dan handai tolan yang menonton.

Jangkrik, jenis serangga yang sering saya dan teman-teman buru saat kecil. Suara ngeriknya memikat telinga masa kanak-kanak saya. Tapi tenang, kalian aman sekarang, karena para pemburu kalian saat ini sudah pada tua haha...(Istimewa)

Selain itu, sandiwara radio adalah hiburan edukatif yang paling berkesan bagi saya. Rata-rata temanya tentang sejarah tanah Jawa dan tatar Sunda yang dibalut dengan cerita fiksi pendekar sakti. Sandiwara radio favorit saya ketika itu adalah Saur Sepuh dengan tokoh utamanya Brama Kumbara, Sang Raja Madangkara.

Kegemaran saya terhadap sandiwara radio itu mungkin sudah level dewa, karena mungkin tidak ada alternatif hiburan lainnya. Hampir setiap hari saya selalu menantikan sandiwara itu, hingga saya hafal jadwal tayangnya sekaligus hafal jadwal siaran ulangnya. Bila batu baterai radio hampir habis, suara radio menjadi lirih, sehingga saya musti mendekatkan telinga ke radio agar tetap bisa menyimak ceritanya.

Ketika sandiwara radio Saur Sepuh difilmkan, saya nekat menontonnya meski harus menempuh jalan kaki melewati sungai menuju gedung bioskop yang berada di kota kecamatan.  Meski banyak sandiwara-sandiwara radio lainnya seperti Misteri Gunung Merapi, Tutur Tinular, dan Pangeran Jaya Kusuma, namun favorit saya tetap Saur Sepuh. Meski saya kadang mengikuti sandiwara-sandiwara itu.

Flyer promosi film "Saur Sepuh" di sebuah surat kabar. Sandiwara radio dan film yang ceritanya memikat saya saat kecil. (Istimewa)

Itulah sekelumit cerita masa kecil saya yang menurut saya sangat indah dan penuh nostalgia. Dan di luar semua itu, saya memiliki kebiasaan yang sepertinya jarang—untuk tidak mengatakan tidak—dimiliki oleh teman-teman saya ketika itu, yaitu kebiasaan membaca.

Ibu, Sosok di Balik Kebiasaan Membaca Saya  

Anugerah terindah saya dikarunia seorang ibu yang membiasakan saya membaca sejak saya masih kecil. Ibu saya seorang PNS. Guru agama Islam sebuah sekolah dasar negeri. Ibu saya biasa membawakan buku-buku bacaan dari perpustakaan sekolahnya untuk saya. Buku-buku bacaan yang selalu membuat saya bergairah membacanya sampai tandas.

Buku-buku bacaan itu berupa buku-buku cerita anak, yang berisi cerita-cerita menarik tentang kisah anak-anak yang berani dan memiliki perangai yang baik, kebanyakan terbitan PT Balai Pustaka. Saya sudah tidak begitu ingat secara persis cerita-cerita di buku-buku yang saya baca di masa kecil itu. Tapi umumnya bercerita tentang kisah sekelompok anak yang pemberani, yang kemudian berhasil mengungkap sebuah kejahatan, menggulung kawanan perampok, dan atau berhasil membantu menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakatnya. Ceritanya semisal cerita dalam film 5 Elang, film anak-anak yang dirilis pada 25 Agustus 2011, yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo.

Begitu saya tandas membaca buku-buku itu, ibu saya pun membawa buku-buku itu untuk dikembalikan ke perpustakaan sekolahnya, lalu membawakan saya buku-buku yang lainnya lagi. Begitu itu seterusnya. Kebiasaan membaca itu betul-betul merasuk di hati dan jiwa saya. Membuat saya benar-benar ‘keranjingan’ membaca. Buku, dan bacaan lainnya seperti majalah, begitu saya minati dengan minat yang meluap-luap.

Dalam sebuah acara bincang kepenulisan yang digelar oleh Gerakan Pena Nusantara (GPN) Cabang Purwodadi di Aula SMA N 1 Purwodadi pada Minggu (25/12/2011) saya menceritakan masa kecil saya yang dibiasakan membaca oleh ibu saya sehingga menjadi trigger saya tertarik menekuni dunia kepenulisan. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti). 

Sayalah yang paling sering ‘mengobrak-abrik’ sebuah lemari kecil yang ada di pojok salah satu kelas di Madrasah Diniyyah Awaliyah Tarbiyatul Athfal—tempat saya sekolah sore atau sekolah Arab (begitu kami biasa menyebutnya), yang di dalamnya memang berisi koleksi buku-buku cerita dan sains untuk anak.

Rasanya hampir semua buku di lemari kecil itu telah saya lahap, tapi tetap saya pilih-pilih karena jumlah koleksinya setahu saya memang tak pernah bertambah, hingga saya lulus sekolah madrasah itu.

Ohya, ketika itu, ibu saya yang seorang pegawai negeri berlangganan majalah Krida, sebuah  majalah bulanan yang diterbitkan oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Provinsi Jawa Tengah. Isi majalah bulanan ini bermacam-macam. Ada aneka artikel yang dianggap cocok untuk para anggota Korpri. Mulai dari yang serius untuk kepentingan pegawai negeri, sampai artikel yang bersifat umum. Ada juga cerita pendek, puisi, teka-teki silang (TTS), cerita anak, konsultasi kesehatan, konsultasi psikologi, konsultasi kepegawaian, dan banyak lagi.

Setiap bulan, majalah yang sekarang sudah mendiang alias sudah tidak terbit lagi itu, ikut mewarnai masa kanak-kanak saya, bahkan selalu saya tunggu. Tidak hanya cerita anak yang saya baca, tapi juga puisi, bahkan artikel-artikelnya saya lahap habis.

Saya pun Bermimpi Menulis Artikel di Koran

Gairah membaca buku dan juga majalah itu, secara alamiah dan instingtif, diam-diam membuat saya bermimpi suatu hari kelak saya akan menulis artikel dan artikel itu dimuat di majalah atau koran. Saya bermimpi, suatu hari nanti, nama dan foto saya akan terpajang bersama dengan artikel saya itu. Sungguh sebuah mimpi anak ndeso yang tumbuh secara alami karena kebiasaan membaca yang ditanamkan oleh sang ibu.

Saya membayangkan betapa kerennya ya bila artikel saya dimuat di koran atau majalah, dan ada nama dan foto saya tertera di situ. Demikian kuatnya mimpi itu hingga menembus bawah sadar saya yang kemudian menggerakkan saya agar kelak saya harus memperjuangkan dan merealisasikan mimpi itu.

Majalah Panjebar Semangat dan Jaya Baya, dua majalah berbahasa Jawa yang pernah mewarnai masa kecil saya yang saya dengan sangat antusias membaca keduanya setiap majalahnya tiba. (Istimewa)

Selain Krida, ketika itu ibu saya juga berlangganan majalah Panjebar Semangat, sebuah majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya. Majalah itu juga selalu saya tunggu-tunggu, tak terkecuali majalah Jaya Baya (juga majalah berbahasa Jawa) yang menjadi langganan almarhum kakak sepupu saya, yang tinggal persis depan rumah. 

Salah satu rubrik yang selalu saya baca dan tunggu-tunggu, terutama setelah saya tumbuh remaja, adalah rubrik Roman Secuil yang ada di majalah Jaya Baya. Roman Secuil adalah rubrik di majalah Jaya Baya yang berisi cerpen-cerpen remaja yang biasanya bertemakan roman (percintaan). Menjadi unik dan menggelitik karena ditulis dengan bahasa Jawa, sehingga lebih membumi dan klik dengan saya yang memang anak ndeso. 

Kebiasaan membaca majalah berbahasa Jawa itulah yang kelak mengantarkan saya pernah sekali menulis cerpen roman percintaan remaja berbahasa Jawa, lalu saya kirim ke majalah Jaya Baya dan dimuat. Cerpen berjudul “Episode Cinta” itu dimuat di rubrik Roman Secuil. Sungguh sebuah pengalaman yang amat menakjubkan dan tak terlupakan sepanjang sejarah saya menapaki belantika dunia kepenulisan.

Tanpa terasa, tradisi membaca itu terus merasuk ke dalam kehidupan saya. Tahun 1992, saat saya untuk pertama kalinya menginjak pesantren dan jauh dari orangtua, alhamdulillah, sesuatu yang saya beli pertama kali adalah sebuah buku tebal (terjemahan) berjudul Ihya’ Ulumuddin. Sebuah buku masterpiece Imam Al-Ghazali. Itulah awal saya kemudian menjadi kutu buku, eh bukan, lebih tepatnya predator buku.

Buku "Ringkasan Ihya' Ulumuddin" karya Imam Al Ghazali, buku yang pertama kali saya beli saat awal-awal menginjakkan kaki di pesantren pada tahun 1992, yang menjadi awal saya semakin mencintai dunia buku dan selalu mengagendakan membeli buku setiap bulan dengan cara menyisihkan uang saku. (Istimewa) 

Saya betul-betul ‘gila’ membaca. Sejak saat itu, hampir—untuk tidak mengatakan selalu—setiap  bulan, saya berusaha menyisihkan uang saku untuk membeli buku dan koran. Koran yang saya beli secara rutin ketika itu adalah koran Suara Merdeka edisi Minggu. Ya hanya edisi Minggu, karena di situ ada rubrik remaja, sastra dan budaya, dan rubrik-rubrik menarik lainnya, yang saya bisa mencoba mengisinya.

Saat banyak teman-teman santri saya di pesantren yang menjadi ‘ahli hisap’—istilah populer untuk menyebut santri yang gemar merokok, alhamdulillah saya dijauhkan dari kegemaran itu. Bukulah yang lebih memikat saya.

Saat teman-teman santri saya satu kamar keluar untuk shoping atau sekedar jalan-jalan santai ke Matahari—nama pusat perbelanjaan di Semarang—saat pesantren libur, saya lebih memilih tenggelam dalam kesunyian membaca buku di kamar pondok.

Tradisi itulah yang kemudian secara alamiah dan instingtif menuntun saya untuk menulis. Tidak ada yang ngompori, apalagi menuntun saya. Semuanya berjalan alamiah. Lalu saya pun berpikir, kinilah saatnya saya memperjuangkan mimpi saya untuk menulis artikel dan mengirimkannya ke koran atau majalah. Saya ingin mewujudkan mimpi itu. Nama dan foto saya musti mejeng di koran atau majalah bersamaan dengan dimuatnya artikel saya tersebut. Amboi, indahnya. Pasti keren ya!

Tulisan Pertama dan Dimuat

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah. Dia memudahkan saya meniti asa untuk menjadi seorang penulis. Ceritanya, tahun 1994, kalau tidak salah bulan Januari atau Februari, ketika itu saya masih SMA—di Madrasah Aliyah (MA). Seusai mengikuti seminar remaja di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, saya mendapatkan ide menulis. 

Saya tulis ide itu, saya guratkan dalam sebuah artikel. Jangan pernah berpikir saya menulisnya dengan komputer atau laptop ya. Dan lalu mengirim artikelnya ke redaksi melalui surat elektronik atau e-mail. Belum ada itu semua. Saya menulis artikel itu dengan tulisan tangan di atas kertas folio atau HVS.

Penampakan tulisan pertama saya yang dimuat di majalah Rindang terbitan Departeman Agama Jawa Tengah, edisi Juni 1994 dengan judul "Krisis Pergaulan Remaja Modern". Dimuat di rubrik Keluarga Sakinah. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti)

Setelah tulisan terkonsep rapi (meski dengan bentuk tulisan saya yang acakadut kayak tulisan dokter hahaha), saya ketik dengan mesin ketik hasil pinjaman. Asal tahu, itu juga untuk pertama kalinya saya memegang mesin ketik. Hampir seharian saya mengetik artikel yang panjangnya hanya 3 lembar HVS itu. Itu pun hasil ketikannya tidak rapi. Tapi, tak apalah. Maklum masih pemula, lebih tepatnya pendatang baru di dunia pengetikan haha....

Begitulah, bisa dibayangkan beratnya saya di awal-awal merintis karier sebagai seorang penulis di era teknologi yang belum maju pesat seperti sekarang—tapi saya sangat menikmatinya. Sebuah artikel saja harus melalui proses yang cukup melelahkan. Awalnya artikel saya tulis tangan di selembar kertas. Kemudian baru saya ketik dengan mesin ketik manual—sekali lagi hasil pinjaman. Setelah selesai, barulah artikel dikirim via pos.

Tunggu punya tunggu, masya Allah, artikel saya itu ternyata dimuat. Di majalah Rindang, sebuah majalah bulanan yang diterbitkan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) Jawa Tengah. Sekarang majalah Rindang sudah tidak terbit. Saya masih ingat artikel saya dimuat pada majalah Rindang edisi Juni 1994. Judulnya “Krisis Pergaulan Remaja Modern”. Ada ilustrasi kartunnya dari redakasi dan nama saya terpampang jelas sebagai penulisnya.

Bangga, senang, bahagia, haru, dan sejenisnya, tiba-tiba menjadi “tamu istimewa” yang sukses “mengobrak-abrik” hati saya. Mendadak saya seperti tidak menjejak tanah, sekonyong melayang ke angkasa sesaat setelah saya mengetahui artikel saya dimuat, haha.

Seminggu kemudian, saya mendapatkan wesel pos (dulu belum lazim transfer bank), honor tulisan saya tersebut yang jumlahnya cukup fantastis, karena melebihi nominal jatah makan saya selama sebulan di pesantren.

Ya, artikel pertama saya dan dimuat itu honornya adalah Rp 35 ribu. Tahun 1994, nominal segitu sangat banyak menurut saya. Karena seperti yang saya katakan, nominal honor itu melebihi jatah makan saya selama sebulan di pesantren. Ketika itu, sekali makan di kantin pesantren, cukup Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Dengan hominal segitu sudah meliputi sepiring nasi dan sayur, dua potong lauk tempe atau mendoan atau bakwan, dan segelas es teh atau es sirup.

Jadi, sehari jatah uang untuk makan Rp 750,- plus tambahan Rp 250 ribu sebagai uang jajan dan uang tak terduga. Jadi, total jenderal jatah makan saya sebulan di pesantren Rp 30.000,-. Bila sebuah artikel dihargai Rp 35 ribu, berarti satu artikel yang dimuat majalah, sudah lebih dari mencukupi untuk biaya makan sebulan di pesantren. Subhanallah!

Realitas mencengangkan itulah yang kemudian menjadi tambahan daya lesat saya untuk semangat menulis berikutnya, meski visi finansial bukan merupakan prioritas dalam rangkaian misi saya menulis. Tujuan utama saya menulis di awal-awal adalah sebagai sebuah wahana ekspresi diri dan kebanggaan—atau mungkin lebih tepatnya sebagai sarana eksistensi diri. Sedang aspek ekonomi hanya menjadi tambahan daya ungkit yang lebih memotivasi produktivitas berkarya. Artinya, dimuat saja sesungguhnya sudah senang sekali, apalagi dikasih duit. Siapa yang menolak coba?!

Sejak saat itu, saya memang produktif menulis. Dimuatnya artikel pertama saya itu benar-benar menjadi tonggak debut saya di panggung dunia kepenulisan, yang menurut saya, sangat prospektif, menjanjikan, dan prestisius. Alhamdulillah. (Bersambung)    

Baca selanjutnya tulisan bagian kedua: Saya Bermimpi Menulis Artikel di Koran (2)

Daftar Isi

 


 


Formulir
Tautan berhasil disalin