Tulisan ini berisi kisah perjalanan awal saya menekuni dunia kepenulisan. Apa yang memantik saya sehingga saya terjun di dunia kepenulisan? Bagaimana awal memulainya hingga bisa seperti sekarang ini—meski saya bukan penulis top skala nasional? Tulisan ini merupakan repost dari blog FSPG, dan karena panjang, maka tulisan saya bagi menjadi dua bagian. Silakan membaca bila tertarik. Semoga menginspirasi.
_______________________________
Saya lahir di Dusun Berukudon—sekarang dipecah menjadi dua dusun, yakni Dusun Beru dan Kudon, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan. Desa Kalirejo, bagi saya, adalah desa kecil yang permai. Tempat saya menghabiskan masa kecil yang penuh kenangan di penghujung tahun 1970-an dan sepanjang tahun 1980-an.
Desa yang di tahun-tahun itu sangat tenang dan damai
selayaknya desa-desa lainnya. Masa kecil saya, saya habiskan dengan belajar,
mengaji, sekolah (pagi dan sore), dan bermain dengan teman-teman. Menonton
televisi sangat jarang, karena ketika itu baru sedikit yang punya televisi.
Juga stasiun televisi ketika itu baru ada TVRI satu-satunya.
Sewaktu saya SD, bahkan bila ingin menonton televisi, harus
jalan kaki menuju ke kantor kecamatan, yang lumayan jauh. Baru setelah
pertengahan tahun 1980-an, warga kampung mulai ada yang memiliki televisi.
Masih televisi hitam putih tentunya, dengan tenaga aki yang bila mau habis,
gambar di layar menjadi mengkeret atau mengecil.
Satu-satunya hiburan di rumah adalah radio dan radio kaset (tape). Ayah
saya, ketika itu, setiap hari menyetel lagu-lagu kasidah dari group Nasida Ria
Semarang. Sehingga saya banyak hafal lirik lagu-lagu kasidah, seperti Tahun
2000, Perdamaian, Jilbab Putih, Kota Santri, dan sebagainya.
![]() |
Nasida Ria Semarang. Lagu-lagunya banyak saya hafal karena ketika kecil, ayah saya sering menyetelnya. (Istimewa) |
Itu nostalgia yang sangat indah dan penuh memorabilia masa
kecil saya yang mungkin tidak pernah akan terulang.
Saya masih ingat, awal tahun 1990-an, orangtua saya termasuk
yang sudah memiliki televisi. Salah satu acara kegemaran kami, yang selalu kami
tunggu-tunggu, adalah ketoprak sayembara. Bila jadwal ketoprak sayembara tiba,
rumah saya selalu penuh tetangga dan handai tolan yang menonton.
Selain itu, sandiwara radio adalah hiburan edukatif yang paling berkesan bagi saya. Rata-rata temanya tentang sejarah tanah Jawa dan tatar Sunda yang dibalut dengan cerita fiksi pendekar sakti. Sandiwara radio favorit saya ketika itu adalah Saur Sepuh dengan tokoh utamanya Brama Kumbara, Sang Raja Madangkara.
Kegemaran saya terhadap sandiwara radio itu mungkin sudah
level dewa, karena mungkin tidak ada alternatif hiburan lainnya. Hampir setiap
hari saya selalu menantikan sandiwara itu, hingga saya hafal jadwal tayangnya
sekaligus hafal jadwal siaran ulangnya. Bila batu baterai radio hampir habis,
suara radio menjadi lirih, sehingga saya musti mendekatkan telinga ke radio
agar tetap bisa menyimak ceritanya.
Ketika sandiwara radio Saur Sepuh difilmkan, saya
nekat menontonnya meski harus menempuh jalan kaki melewati sungai menuju gedung
bioskop yang berada di kota kecamatan.
Meski banyak sandiwara-sandiwara radio lainnya seperti Misteri Gunung
Merapi, Tutur Tinular, dan Pangeran Jaya Kusuma, namun favorit saya tetap Saur
Sepuh. Meski saya kadang mengikuti sandiwara-sandiwara itu.
![]() |
Flyer promosi film "Saur Sepuh" di sebuah surat kabar. Sandiwara radio dan film yang ceritanya memikat saya saat kecil. (Istimewa) |
Itulah sekelumit cerita masa kecil saya yang menurut saya sangat indah dan penuh nostalgia. Dan di luar semua itu, saya memiliki kebiasaan yang sepertinya jarang—untuk tidak mengatakan tidak—dimiliki oleh teman-teman saya ketika itu, yaitu kebiasaan membaca.
Ibu, Sosok di Balik Kebiasaan Membaca Saya
Anugerah terindah saya dikarunia seorang ibu yang
membiasakan saya membaca sejak saya masih kecil. Ibu saya seorang PNS. Guru
agama Islam sebuah sekolah dasar negeri. Ibu saya biasa membawakan buku-buku
bacaan dari perpustakaan sekolahnya untuk saya. Buku-buku bacaan yang selalu
membuat saya bergairah membacanya sampai tandas.
Buku-buku bacaan itu berupa buku-buku cerita anak, yang
berisi cerita-cerita menarik tentang kisah anak-anak yang berani dan memiliki
perangai yang baik, kebanyakan terbitan PT Balai Pustaka. Saya sudah tidak
begitu ingat secara persis cerita-cerita di buku-buku yang saya baca di masa
kecil itu. Tapi umumnya bercerita tentang kisah sekelompok anak yang pemberani,
yang kemudian berhasil mengungkap sebuah kejahatan, menggulung kawanan
perampok, dan atau berhasil membantu menyelesaikan problem yang dihadapi
masyarakatnya. Ceritanya semisal cerita dalam film 5 Elang, film
anak-anak yang dirilis pada 25 Agustus 2011, yang disutradarai oleh Rudi
Soedjarwo.
Begitu saya tandas membaca buku-buku itu, ibu saya pun
membawa buku-buku itu untuk dikembalikan ke perpustakaan sekolahnya, lalu
membawakan saya buku-buku yang lainnya lagi. Begitu itu seterusnya. Kebiasaan
membaca itu betul-betul merasuk di hati dan jiwa saya. Membuat saya benar-benar
‘keranjingan’ membaca. Buku, dan bacaan lainnya seperti majalah, begitu saya
minati dengan minat yang meluap-luap.
Sayalah yang paling sering ‘mengobrak-abrik’ sebuah lemari kecil yang ada di pojok salah satu kelas di Madrasah Diniyyah Awaliyah Tarbiyatul Athfal—tempat saya sekolah sore atau sekolah Arab (begitu kami biasa menyebutnya), yang di dalamnya memang berisi koleksi buku-buku cerita dan sains untuk anak.
Rasanya hampir semua buku di lemari kecil itu telah saya
lahap, tapi tetap saya pilih-pilih karena jumlah koleksinya setahu saya memang
tak pernah bertambah, hingga saya lulus sekolah madrasah itu.
Ohya, ketika itu, ibu saya yang seorang pegawai negeri
berlangganan majalah Krida, sebuah
majalah bulanan yang diterbitkan oleh Korps Pegawai Republik Indonesia
(KORPRI) Provinsi Jawa Tengah. Isi majalah bulanan ini bermacam-macam. Ada
aneka artikel yang dianggap cocok untuk para anggota Korpri. Mulai dari yang
serius untuk kepentingan pegawai negeri, sampai artikel yang bersifat umum. Ada
juga cerita pendek, puisi, teka-teki silang (TTS), cerita anak, konsultasi
kesehatan, konsultasi psikologi, konsultasi kepegawaian, dan banyak lagi.
Setiap bulan, majalah yang sekarang sudah mendiang alias
sudah tidak terbit lagi itu, ikut mewarnai masa kanak-kanak saya, bahkan selalu
saya tunggu. Tidak hanya cerita anak yang saya baca, tapi juga puisi, bahkan
artikel-artikelnya saya lahap habis.
Saya pun Bermimpi Menulis Artikel di Koran
Gairah membaca buku dan juga majalah itu, secara alamiah dan
instingtif, diam-diam membuat saya bermimpi suatu hari kelak saya akan menulis
artikel dan artikel itu dimuat di majalah atau koran. Saya bermimpi, suatu hari
nanti, nama dan foto saya akan terpajang bersama dengan artikel saya itu.
Sungguh sebuah mimpi anak ndeso yang tumbuh secara alami karena
kebiasaan membaca yang ditanamkan oleh sang ibu.
Saya membayangkan betapa kerennya ya bila artikel saya
dimuat di koran atau majalah, dan ada nama dan foto saya tertera di situ.
Demikian kuatnya mimpi itu hingga menembus bawah sadar saya yang kemudian
menggerakkan saya agar kelak saya harus memperjuangkan dan merealisasikan mimpi
itu.
![]() |
Majalah Panjebar Semangat dan Jaya Baya, dua majalah berbahasa Jawa yang pernah mewarnai masa kecil saya yang saya dengan sangat antusias membaca keduanya setiap majalahnya tiba. (Istimewa) |
Selain Krida, ketika itu ibu saya juga berlangganan majalah Panjebar Semangat, sebuah majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya. Majalah itu juga selalu saya tunggu-tunggu, tak terkecuali majalah Jaya Baya (juga majalah berbahasa Jawa) yang menjadi langganan almarhum kakak sepupu saya, yang tinggal persis depan rumah.
Salah satu rubrik yang selalu saya baca dan tunggu-tunggu,
terutama setelah saya tumbuh remaja, adalah rubrik Roman Secuil yang ada
di majalah Jaya Baya. Roman Secuil adalah rubrik di majalah Jaya
Baya yang berisi cerpen-cerpen remaja yang biasanya bertemakan roman (percintaan).
Menjadi unik dan menggelitik karena ditulis dengan bahasa Jawa, sehingga lebih
membumi dan klik dengan saya yang memang anak ndeso.
Kebiasaan membaca majalah berbahasa Jawa itulah yang kelak
mengantarkan saya pernah sekali menulis cerpen roman percintaan remaja
berbahasa Jawa, lalu saya kirim ke majalah Jaya Baya dan dimuat. Cerpen
berjudul “Episode Cinta” itu dimuat di rubrik Roman Secuil. Sungguh
sebuah pengalaman yang amat menakjubkan dan tak terlupakan sepanjang sejarah
saya menapaki belantika dunia kepenulisan.
Tanpa terasa, tradisi membaca itu terus merasuk ke dalam
kehidupan saya. Tahun 1992, saat saya untuk pertama kalinya menginjak pesantren
dan jauh dari orangtua, alhamdulillah, sesuatu yang saya beli pertama
kali adalah sebuah buku tebal (terjemahan) berjudul Ihya’ Ulumuddin. Sebuah
buku masterpiece Imam Al-Ghazali. Itulah awal saya kemudian menjadi kutu
buku, eh bukan, lebih tepatnya predator buku.
Saya betul-betul ‘gila’ membaca. Sejak saat itu, hampir—untuk tidak mengatakan selalu—setiap bulan, saya berusaha menyisihkan uang saku untuk membeli buku dan koran. Koran yang saya beli secara rutin ketika itu adalah koran Suara Merdeka edisi Minggu. Ya hanya edisi Minggu, karena di situ ada rubrik remaja, sastra dan budaya, dan rubrik-rubrik menarik lainnya, yang saya bisa mencoba mengisinya.
Saat banyak teman-teman santri saya di pesantren yang
menjadi ‘ahli hisap’—istilah populer untuk menyebut santri yang gemar merokok, alhamdulillah
saya dijauhkan dari kegemaran itu. Bukulah yang lebih memikat saya.
Saat teman-teman santri saya satu kamar keluar untuk shoping
atau sekedar jalan-jalan santai ke Matahari—nama pusat perbelanjaan di
Semarang—saat pesantren libur, saya lebih memilih tenggelam dalam kesunyian
membaca buku di kamar pondok.
Tradisi itulah yang kemudian secara alamiah dan instingtif
menuntun saya untuk menulis. Tidak ada yang ngompori, apalagi menuntun
saya. Semuanya berjalan alamiah. Lalu saya pun berpikir, kinilah saatnya saya
memperjuangkan mimpi saya untuk menulis artikel dan mengirimkannya ke koran
atau majalah. Saya ingin mewujudkan mimpi itu. Nama dan foto saya musti mejeng
di koran atau majalah bersamaan dengan dimuatnya artikel saya tersebut. Amboi,
indahnya. Pasti keren ya!
Tulisan Pertama dan Dimuat
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah. Dia
memudahkan saya meniti asa untuk menjadi seorang penulis. Ceritanya, tahun
1994, kalau tidak salah bulan Januari atau Februari, ketika itu saya masih
SMA—di Madrasah Aliyah (MA). Seusai mengikuti seminar remaja di Taman Budaya
Raden Saleh (TBRS) Semarang, saya mendapatkan ide menulis.
Saya tulis ide itu, saya guratkan dalam sebuah artikel.
Jangan pernah berpikir saya menulisnya dengan komputer atau laptop ya. Dan lalu
mengirim artikelnya ke redaksi melalui surat elektronik atau e-mail.
Belum ada itu semua. Saya menulis artikel itu dengan tulisan tangan di atas
kertas folio atau HVS.
Setelah tulisan terkonsep rapi (meski dengan bentuk tulisan saya yang acakadut kayak tulisan dokter hahaha), saya ketik dengan mesin ketik hasil pinjaman. Asal tahu, itu juga untuk pertama kalinya saya memegang mesin ketik. Hampir seharian saya mengetik artikel yang panjangnya hanya 3 lembar HVS itu. Itu pun hasil ketikannya tidak rapi. Tapi, tak apalah. Maklum masih pemula, lebih tepatnya pendatang baru di dunia pengetikan haha....
Begitulah, bisa dibayangkan beratnya saya di
awal-awal merintis karier sebagai seorang penulis di era teknologi yang belum
maju pesat seperti sekarang—tapi saya sangat menikmatinya. Sebuah artikel saja
harus melalui proses yang cukup melelahkan. Awalnya artikel saya tulis tangan
di selembar kertas. Kemudian baru saya ketik dengan mesin ketik manual—sekali lagi
hasil pinjaman. Setelah selesai, barulah artikel dikirim via pos.
Tunggu punya tunggu, masya Allah, artikel saya itu
ternyata dimuat. Di majalah Rindang, sebuah majalah bulanan yang
diterbitkan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) Jawa Tengah.
Sekarang majalah Rindang sudah tidak terbit. Saya masih ingat artikel
saya dimuat pada majalah Rindang edisi Juni 1994. Judulnya “Krisis
Pergaulan Remaja Modern”. Ada ilustrasi kartunnya dari redakasi dan nama saya
terpampang jelas sebagai penulisnya.
Bangga, senang, bahagia, haru, dan sejenisnya, tiba-tiba
menjadi “tamu istimewa” yang sukses “mengobrak-abrik” hati saya. Mendadak saya
seperti tidak menjejak tanah, sekonyong melayang ke angkasa sesaat setelah saya
mengetahui artikel saya dimuat, haha.
Seminggu kemudian, saya mendapatkan wesel pos (dulu belum
lazim transfer bank), honor tulisan saya tersebut yang jumlahnya cukup
fantastis, karena melebihi nominal jatah makan saya selama sebulan di
pesantren.
Ya, artikel pertama saya dan dimuat itu honornya adalah Rp
35 ribu. Tahun 1994, nominal segitu sangat banyak menurut saya. Karena seperti
yang saya katakan, nominal honor itu melebihi jatah makan saya selama sebulan
di pesantren. Ketika itu, sekali makan di kantin pesantren, cukup Rp 250,- (dua
ratus lima puluh rupiah). Dengan hominal segitu sudah meliputi sepiring
nasi dan sayur, dua potong lauk tempe atau mendoan atau bakwan, dan segelas es
teh atau es sirup.
Jadi, sehari jatah uang untuk makan Rp 750,- plus tambahan
Rp 250 ribu sebagai uang jajan dan uang tak terduga. Jadi, total jenderal
jatah makan saya sebulan di pesantren Rp 30.000,-. Bila sebuah artikel dihargai
Rp 35 ribu, berarti satu artikel yang dimuat majalah, sudah lebih dari
mencukupi untuk biaya makan sebulan di pesantren. Subhanallah!
Realitas mencengangkan itulah yang kemudian menjadi tambahan
daya lesat saya untuk semangat menulis berikutnya, meski visi finansial bukan
merupakan prioritas dalam rangkaian misi saya menulis. Tujuan utama saya
menulis di awal-awal adalah sebagai sebuah wahana ekspresi diri dan kebanggaan—atau
mungkin lebih tepatnya sebagai sarana eksistensi diri. Sedang aspek ekonomi
hanya menjadi tambahan daya ungkit yang lebih memotivasi produktivitas
berkarya. Artinya, dimuat saja sesungguhnya sudah senang sekali, apalagi
dikasih duit. Siapa yang menolak coba?!
Sejak saat itu, saya memang produktif menulis. Dimuatnya
artikel pertama saya itu benar-benar menjadi tonggak debut saya di panggung
dunia kepenulisan, yang menurut saya, sangat prospektif, menjanjikan, dan
prestisius. Alhamdulillah. (Bersambung)
Baca selanjutnya tulisan bagian kedua: Saya Bermimpi Menulis Artikel di Koran (2)