______________________________________________
Terus Mengasah Kemampuan Menulis
Segera setelah artikel pertama saya dimuat di majalah Rindang,
saya mulai mencari-cari media yang saya bisa menulis di situ. Setela cari-cari,
ketemulah dua media yang sepertinya saya bisa ikut menulis secara lepas di
situ: yang pertama di Suara Merdeka—koran lokal ternama yang terbit
harian di Jawa Tengah, dan yang kedua Jumat—sebuah tabloid mingguan yang
diterbitkan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan berkantor di Masjid Istiqlal
Jakarta.
Di kedua media itu saya banyak belajar menulis artikel dan
benar-benar saya manfaatkan sebagai sarana mempertajam pena saya, dalam arti
mengoptimalkan kemampuan saya dalam menulis.
Di Suara Merdeka saya mengandalkan edisi hari Minggu
saja, karena di edisi itu banyak rubrik-rubrik menarik yang saya bisa
berkesempatan untuk menulis secara lepas. Di antaranya ada rubrik Yunior,
yang saya bisa menulis cerita anak dan dongeng; dan rubrik Remaja, yang
saya bisa menulis esai lepas di situ.
Selain menulis esai lepas, di rubrik Remaja saya juga
sering mengirim tulisan untuk kolom Dialog. Dialog adalah ruang yang
disediakan untuk membincang topik-topik santai yang sudah ditentukan oleh
redaksi dalam sebuah artikel pendek—hanya beberapa paragraf saja. Meski di
rubrik Dialog ini tulisan yang dimuat tidak mendapat honor, melainkan
mendapat hadiah kaos, tapi saya tetap antusias mengirim tulisan di situ.
![]() |
Salah satu tulisan ringkas saya dimuat di kolom Dialog SUARA MERDEKA dengan topik "Gagal Menempuh UMPTN". Edisi tak terlacak. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti) |
Tujuan prioritas saya adalah untuk mempertajam kemampuan saya menulis terkait pelbagai topik. Selain itu, tak bisa dipungkiri, saya juga bangga bila dimuat—ada nama dan foto saya terpajang di situ, di samping senang juga mendapatkan hadiah kaos. Saya bisa petentang-petenteng memakai kaos bertuliskan Rubrik Dialog SUARA MERDEKA hahaha...
Tulisan saya sering dimuat di rubrik Dialog, sehingga saya pun punya banyak koleksi kaos bertuliskan Rubrik Dialog SUARA MERDEKA dengan warna kaos dan desain tulisan yang berbeda. Saya bangga memakainya, karena saya peroleh dengan ‘kerja cerdas’ mengirim tulisan dan bersaing dengan banyak tulisan lainnya, namun tulisan saya dapat memenangkan kompetisi itu.
Karena itulah, ketika itu saya rutin membeli koran Suara
Merdeka edisi Minggu. Suara Merdeka edisi Minggu serupa kekasih yang
selalu saya tunggu-tunggu kehadirannya. Setiap Minggu pagi, saya selalu menanti
kehadirannya. Dan pasti saya membelinya dan mengecek adakah tulisan saya yang
dimuat di Minggu itu.
Pada perkembangannya, Suara Merdeka ketika itu juga
menyediakan rubrik Debat Generasi Muda. Terbit setiap hari Rabu. Rubrik
ini lebih serius dari rubrik Dialog yang redaksi menentukan tema-tema
ringan dan santai.
Di rubrik Debat Generasi Muda, redaksi menentukan
tema-tema yang lebih serius dan yang sedang menjadi trending topic—kalau
istilah sekarang sedang viral, misalnya tentang politik, penegakan hukum, isu
lingkungan hidup, agama, dan sebagainya.
Tulisannya juga tidak hanya pendek beberapa paragraf saja, tapi lebih panjang selayaknya artikel opini pada umumnya. Dan ini yang penting, kalau artikel opininya dimuat, tidak mendapatkan hadiah kaos seperti pada rubrik Dialog, melainkan mendapat honorarium yang nominalnya lumayan, karena bisa untuk membeli buku atau mentraktir bakso beberapa orang teman.
![]() |
Salah satu esai atau artikel opini saya dimuat di rubrik Debat Generasi Muda Suara Merdeka edisi tak terlacak, yang pasti tahun 1996.(Dok. Badiatul Muchlisin Asti) |
Saya masih ingat, salah satu artikel opini saya yang dimuat di rubrik Debat Generasi Muda berjudul Mengembalikan Kepercayaan Rakyat. Tema ini diangkat redaksi karena saat itu tengah ramai peristiwa lepasnya buron koruptor kelas kakap Edi Tansil. Senengnya bukan main ketika itu.
Apalagi setelah tahu informasi dari redakturnya, yang menginformasikan bahwa rata-rata dalam seminggu, ada lebih dari 30 naskah yang masuk ke redaksi, dan dari naskah sebanyak itu hanya 2 hingga 3 artikel saja yang diambil untuk dimuat. Itu artinya, ada setidaknya 30 artikel yang tersisih dan masuk tong sampah setiap minggunya. Jadi, bisa dibayangkan ketatnya kompetisi agar tulisan kita bisa dimuat. Dari sinilah saya belajar strategi menulis di koran agar dimuat, setidaknya berpeluang lebih tinggi untuk dimuat.
Mengasah Kemampuan Jurnalistik
Selain di Suara Merdeka, media tempat saya mengasah
kemampuan menulis adalah di tabloid Jumat. Seperti yang sudah saya
sampaikan, tabloid Jumat adalah sebuah media yang terbit mingguan,
diterbitkan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan berkantor di Masjid Istiqlal
Jakarta.
Di tabloid inilah saya juga benar-benar banyak belajar dan
berlatih menulis di awal-awal karier kepenulisan saya. Tapi, di tabloid ini
saya lebih banyak berlatih jurnalistik layaknya seorang wartawan atau jurnalis.
Karena di tabloid Jumat, saya menulis jenis-jenis tulisan jurnalistik
seperti berita dan feature (karangan khas) dalam bentuk liputan seminar,
profil tokoh, profil masjid bersejarah, profil organisasi remaja Islam, dan
sebagainya.
Dari sini saya mendapatkan pengalaman secara autodidak
tentang bagaimana meliput sebuah berita, melakukan proses-proses kerja
jurnalisme seperti pengumpulan data dan fakta di lapangan lewat observasi,
wawancara, dan riset. Lalu merekonstruksinya ke dalam sebuah tulisan
jurnalistik.
Karena ‘tuntutan kerja’ itulah saya musti membeli kamera.
Ketika itu, saya membeli kamera merk Fuji MDL5 dengan harga—kalau tidak salah
ingat, Rp 45 ribu, yang saya sudah sangat senang memilikinya. Saya bawa kamera
itu kemana-mana. Tapi saya menggunakannya hanya untuk hal-hal penting saja
karena waktu itu masih menggunakan rol film yang untuk mencetak fotonya perlu
dicuci terlebih dulu di studio foto yang menyediakan layanan cuci film, baru
kemudian diafdruk atau dicetak.
Meski saya bukan jurnalis resmi tabloid Jumat, tapi redaksi sangat wellcome menerima sumbangan tulisan dari penulis dan jurnalis lepas seperti saya. Atmosfir jurnalistik sangat saya rasakan, sehingga saya seperti menjadi jurnalis atau wartawan beneran. Bila ada sumber berita yang pas, saya segera menghubungi dan segera membuat appoinment untuk interview. Keren haha… Bila ditanya dari media mana, saya menjawab, saya jurnalis lepas.
Pernah saya numpang tinggal di sebuah kontrakan teman di
Perumahan Pucang Gading—perumahan yang secara administratif masuk wilayah
Mranggen (Demak), tapi lebih terkenal sebagai wilayah Semarang karena kedekatan
geografisnya. Ternyata, di sana ada seorang tetangga kontrakan yang seorang
mualaf. Di tabloid Jumat memang ada rubrik Mengapa Aku Pilih Islam,
yang berisi perjalanan mendapatkan hidayah dari seorang nonmuslim sehingga
memeluk agama Islam.
Saya pun mendatangi rumahnya dan mewawancarainya. Beberapa
waktu kemudian, dimuatlah tulisan saya hasil wawancara tersebut. Ketika itu
bapak-bapak kompleks sedang berkumpul di pos ronda. Saya menunjukkan tabloid Jumat
yang memuat kisah perjalanan tetangga saya itu mendapatkan hidayah. Maka
hebohlah para bapak itu dan mereka menjadi lebih hormat kepada saya setelah
tahu saya seorang penulis dan jurnalis.
Kepopuleran saya sebagai seorang penulis mulai berkibar, terutama dalam lingkup pertemanan. Saya pun menjelajah menulis di media-media lainnya lagi, tidak hanya di Suara Merdeka dan tabloid Jumat. Bahkan saya juga dikenal memiliki kemampuan retorika, seorang pembaca buku, dan sering menjadi tempat curhat problematika remaja hahaha....
Saya pun mulai diundang untuk mengisi berbagai even seminar, biasanya bertema remaja, di antaranya oleh sebuah komunitas remaja di Semarang untuk mengisi sebuah seminar dengan tajuk “Cinta dalam Visi Islam” pada Juni 1998.
Sejak itulah saya menjadi penulis, dan juga pembicara
publik, hingga kini. Semoga sepenggal kisah ini bermanfaat dan menginspirasi. (Selesai)