GpOpBUdpGSz7TfA0TSG7TpAlTi==

Headline:

Saya Bermimpi Menulis Artikel di Koran (2)

Saya saat menyampaikan materi teknis penulisan esai dalam Lokakarya Penulisan Esai, Cerpen, dan Novel yang diadakah oleh Universitas Ngudi Waluyo (UNW) Semarang pada Sabtu (8/2/2020) di Aula Gedung M Lantai IV UNW. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti). 
Tulisan ini adalah bagian kedua dari dua tulisan yang berkisah tentang perjalanan awal saya menekuni dunia penulisan. Bila belum membaca tulisan bagian pertama silahkan baca terlebih dahulu: Saya Bermimpi Menulis Artikel Opini (1)

______________________________________________

Terus Mengasah Kemampuan Menulis

Segera setelah artikel pertama saya dimuat di majalah Rindang, saya mulai mencari-cari media yang saya bisa menulis di situ. Setela cari-cari, ketemulah dua media yang sepertinya saya bisa ikut menulis secara lepas di situ: yang pertama di Suara Merdeka—koran lokal ternama yang terbit harian di Jawa Tengah, dan yang kedua Jumat—sebuah tabloid mingguan yang diterbitkan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan berkantor di Masjid Istiqlal Jakarta.

Di kedua media itu saya banyak belajar menulis artikel dan benar-benar saya manfaatkan sebagai sarana mempertajam pena saya, dalam arti mengoptimalkan kemampuan saya dalam menulis.

Di Suara Merdeka saya mengandalkan edisi hari Minggu saja, karena di edisi itu banyak rubrik-rubrik menarik yang saya bisa berkesempatan untuk menulis secara lepas. Di antaranya ada rubrik Yunior, yang saya bisa menulis cerita anak dan dongeng; dan rubrik Remaja, yang saya bisa menulis esai lepas di situ.

Selain menulis esai lepas, di rubrik Remaja saya juga sering mengirim tulisan untuk kolom Dialog. Dialog adalah ruang yang disediakan untuk membincang topik-topik santai yang sudah ditentukan oleh redaksi dalam sebuah artikel pendek—hanya beberapa paragraf saja. Meski di rubrik Dialog ini tulisan yang dimuat tidak mendapat honor, melainkan mendapat hadiah kaos, tapi saya tetap antusias mengirim tulisan di situ.

Salah satu tulisan ringkas saya dimuat di kolom Dialog SUARA MERDEKA dengan topik "Gagal Menempuh UMPTN". Edisi tak terlacak. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti)

Tujuan prioritas saya adalah untuk mempertajam kemampuan saya menulis terkait pelbagai topik. Selain itu, tak bisa dipungkiri, saya juga bangga bila dimuat—ada nama dan foto saya terpajang di situ, di samping senang juga mendapatkan hadiah kaos. Saya bisa petentang-petenteng memakai kaos bertuliskan Rubrik Dialog SUARA MERDEKA hahaha...  

Tulisan saya sering dimuat di rubrik Dialog, sehingga saya pun punya banyak koleksi kaos bertuliskan Rubrik Dialog SUARA MERDEKA dengan warna kaos dan desain tulisan yang berbeda. Saya bangga memakainya, karena saya peroleh dengan ‘kerja cerdas’ mengirim tulisan dan bersaing dengan banyak tulisan lainnya, namun tulisan saya dapat memenangkan kompetisi itu.  

Karena itulah, ketika itu saya rutin membeli koran Suara Merdeka edisi Minggu. Suara Merdeka edisi Minggu serupa kekasih yang selalu saya tunggu-tunggu kehadirannya. Setiap Minggu pagi, saya selalu menanti kehadirannya. Dan pasti saya membelinya dan mengecek adakah tulisan saya yang dimuat di Minggu itu.

Pada perkembangannya, Suara Merdeka ketika itu juga menyediakan rubrik Debat Generasi Muda. Terbit setiap hari Rabu. Rubrik ini lebih serius dari rubrik Dialog yang redaksi menentukan tema-tema ringan dan santai.

Di rubrik Debat Generasi Muda, redaksi menentukan tema-tema yang lebih serius dan yang sedang menjadi trending topic—kalau istilah sekarang sedang viral, misalnya tentang politik, penegakan hukum, isu lingkungan hidup, agama, dan sebagainya.

Tulisannya juga tidak hanya pendek beberapa paragraf saja, tapi lebih panjang selayaknya artikel opini pada umumnya. Dan ini yang penting, kalau artikel opininya dimuat, tidak mendapatkan hadiah kaos seperti pada rubrik Dialog, melainkan mendapat honorarium yang nominalnya lumayan, karena bisa untuk membeli buku atau mentraktir bakso beberapa orang teman.

Salah satu esai atau artikel opini saya dimuat di rubrik Debat Generasi Muda Suara Merdeka edisi tak terlacak, yang pasti tahun 1996.(Dok. Badiatul Muchlisin Asti)

Saya masih ingat, salah satu artikel opini saya yang dimuat di rubrik Debat Generasi Muda berjudul Mengembalikan Kepercayaan Rakyat. Tema ini diangkat redaksi karena saat itu tengah ramai peristiwa lepasnya buron koruptor kelas kakap Edi Tansil. Senengnya bukan main ketika itu.

Apalagi setelah tahu informasi dari redakturnya, yang menginformasikan bahwa rata-rata dalam seminggu, ada lebih dari 30 naskah yang masuk ke redaksi, dan dari naskah sebanyak itu hanya 2 hingga 3 artikel saja yang diambil untuk dimuat. Itu artinya, ada setidaknya 30 artikel yang tersisih dan masuk tong sampah setiap minggunya. Jadi, bisa dibayangkan ketatnya kompetisi agar tulisan kita bisa dimuat. Dari sinilah saya belajar strategi menulis di koran agar dimuat, setidaknya berpeluang lebih tinggi untuk dimuat.

Mengasah Kemampuan Jurnalistik

Selain di Suara Merdeka, media tempat saya mengasah kemampuan menulis adalah di tabloid Jumat. Seperti yang sudah saya sampaikan, tabloid Jumat adalah sebuah media yang terbit mingguan, diterbitkan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan berkantor di Masjid Istiqlal Jakarta.

Di tabloid inilah saya juga benar-benar banyak belajar dan berlatih menulis di awal-awal karier kepenulisan saya. Tapi, di tabloid ini saya lebih banyak berlatih jurnalistik layaknya seorang wartawan atau jurnalis. Karena di tabloid Jumat, saya menulis jenis-jenis tulisan jurnalistik seperti berita dan feature (karangan khas) dalam bentuk liputan seminar, profil tokoh, profil masjid bersejarah, profil organisasi remaja Islam, dan sebagainya.

Dari sini saya mendapatkan pengalaman secara autodidak tentang bagaimana meliput sebuah berita, melakukan proses-proses kerja jurnalisme seperti pengumpulan data dan fakta di lapangan lewat observasi, wawancara, dan riset. Lalu merekonstruksinya ke dalam sebuah tulisan jurnalistik.

Karena ‘tuntutan kerja’ itulah saya musti membeli kamera. Ketika itu, saya membeli kamera merk Fuji MDL5 dengan harga—kalau tidak salah ingat, Rp 45 ribu, yang saya sudah sangat senang memilikinya. Saya bawa kamera itu kemana-mana. Tapi saya menggunakannya hanya untuk hal-hal penting saja karena waktu itu masih menggunakan rol film yang untuk mencetak fotonya perlu dicuci terlebih dulu di studio foto yang menyediakan layanan cuci film, baru kemudian diafdruk atau dicetak.

Salah satu tulisan saya yang menceritakan pengalaman mendapatkan hidayah tetangga kontrakan di Semarang, dimuat di rubrik Mengapa Aku Pilih Islam di tabloid Jumat, edisi 18 Rabiul Akhir 1418 H/22 Agustus 1997. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti)

Meski saya bukan jurnalis resmi tabloid Jumat, tapi redaksi sangat wellcome menerima sumbangan tulisan dari penulis dan jurnalis lepas seperti saya. Atmosfir jurnalistik sangat saya rasakan, sehingga saya seperti menjadi jurnalis atau wartawan beneran. Bila ada sumber berita yang pas, saya segera menghubungi dan segera membuat appoinment untuk interview. Keren haha… Bila ditanya dari media mana, saya menjawab, saya jurnalis lepas.

Pernah saya numpang tinggal di sebuah kontrakan teman di Perumahan Pucang Gading—perumahan yang secara administratif masuk wilayah Mranggen (Demak), tapi lebih terkenal sebagai wilayah Semarang karena kedekatan geografisnya. Ternyata, di sana ada seorang tetangga kontrakan yang seorang mualaf. Di tabloid Jumat memang ada rubrik Mengapa Aku Pilih Islam, yang berisi perjalanan mendapatkan hidayah dari seorang nonmuslim sehingga memeluk agama Islam.

Saya pun mendatangi rumahnya dan mewawancarainya. Beberapa waktu kemudian, dimuatlah tulisan saya hasil wawancara tersebut. Ketika itu bapak-bapak kompleks sedang berkumpul di pos ronda. Saya menunjukkan tabloid Jumat yang memuat kisah perjalanan tetangga saya itu mendapatkan hidayah. Maka hebohlah para bapak itu dan mereka menjadi lebih hormat kepada saya setelah tahu saya seorang penulis dan jurnalis.

Saya mulai menjadi pembicara publik, diundang untuk menjadi narasumber berbagai even seminar dan bincang remaja. Foto ini adalah saat saya menjadi pembicara dalam acara bincang remaja bertema "Cinta dalam Visi Islam" yang diadakan oleh komunitas Remaja Perita Semarang pada Minggu 28 Juni 1998. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti)

Kepopuleran saya sebagai seorang penulis mulai berkibar, terutama dalam lingkup pertemanan. Saya pun menjelajah menulis di media-media lainnya lagi, tidak hanya di Suara Merdeka dan tabloid JumatBahkan saya juga dikenal memiliki kemampuan retorika, seorang pembaca buku, dan sering menjadi tempat curhat problematika remaja hahaha.... 

Saya pun mulai diundang untuk mengisi berbagai even seminar, biasanya bertema remaja, di antaranya oleh sebuah komunitas remaja di Semarang untuk mengisi sebuah seminar dengan tajuk “Cinta dalam Visi Islam”  pada Juni 1998.

Sejak itulah saya menjadi penulis, dan juga pembicara publik, hingga kini. Semoga sepenggal kisah ini bermanfaat dan menginspirasi. (Selesai)

Daftar Isi

 


 


Formulir
Tautan berhasil disalin