![]() |
Saya (tengah) saat menjawab pertanyaan peserta dalam bedah buku Grobogan Mempesona: Berbicara Sejarah dan Potensi di Pendopo Kabupaten Grobogan pada Rabu (25/6/2025). |
Pertama; bimtek kepenulisan konten berbasis budaya lokal
yang saya didaulat berbagi materi teknis menulis konten berbasis budaya lokal.
Selain saya, ada Yunus Suryawan dan Lia Herliana sebagai narasumber, yang
masing-masing memberi materi pengantar budaya lokal dan penyuntingan.
Keseruan bimtek yang diikuti oleh 60-an peserta dari
pelbagai latar belakang, dari pelajar, mahasiswa, guru, perangkat desa, dan
masyarakat umum, sudah saya ceritakan di artikel sebelumnya berjudul Serba-serbi Bimtek Kepenulisan Berbasis Budaya Lokal Dinarpusda Grobogan, silakan
dibaca dengan mengkliknya terlebih dahulu.
Kedua; setelahnya saya juga diminta menjadi salah satu
narasumber bedah buku “Grobogan Mempesona: Berbicara Sejarah dan Potensi” yang
digelar Dinarpusda Grobogan pada Rabu (25/6/2025) di Pendopo Kabupaten
Grobogan. Selain saya, narasumber lainnya adalah Yunus Suryawan, seorang camat
yang juga pemerhati sejarah Grobogan.
Acara bedah buku seperti ini jarang, bahkan langka sekali,
diadakan di Kabupaten Grobogan. Sehingga mudah-mudahan bedah buku ini menjadi
pemicu penyelenggaraan bedah buku-bedah buku selanjutnya oleh berbagai pihak
yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan literasi di Kabupaten
Grobogan—yang pada tahun 2018 pernah dicanangkan sebagai Kabupaten Literasi
oleh Bupati Hj. Sri Sumarni.
Tentang Buku Grobogan Mempesona
Buku yang dibedah berjudul “Grobogan Mempesona:
Berbicara Sejarah dan Potensi” merupakan buku yang penulisan dan
penerbitannya diprakarsasi dan dibiayai oleh Dinarpusda Grobogan. Sebagai
penulis buku ditunjuk tim yang terdiri dari lima penulis. Selain saya, ada Yunus Suryawan sebagai ketua tim, Saiful Anwar, Syahid Nurmahmudi, dan Teguh
Arseno.
Isi buku terdiri dari dua bagian—yang awalnya dirumuskan
sekitar tujuh bagian—meliputi bagian sejarah dan budaya, yang di judul buku
tersebut disebut sebagai potensi. Saya sendiri diberi tugas khusus menulis
bagian budaya asli Grobogan.
![]() |
Foto jepretan salah seornag peserta saat saya menyampaikan materi tentang pesona budaya Grobogan. (Jamilatul Istiqomah) |
Sayangnya, karena menghindari buku yang terlampau tebal, di
buku hanya mengakomodasi tulisan saya yang menyajikan sejumlah keterampilan dan
kemahiran tradisional. Hanya enam budaya hasil tulisan saya yang termuat di
buku, meliputi: pande besi Dusun Tahunan, produksi garam Bledug, swike, becek,
ayam panggang Bledug, dan sega pager Godong.
Porsi terbanyak memang di bagian pertama yang mengulas
Grobogan dari aspek sejarah yang digarap oleh Pak Yunus, Mas Saiful, Ustaz
Syahid, dan Mas Teguh Arseno. Dan buku itu kemudian diterbitkan oleh Deepublish
Publisher, Jogjakarta, cetakan pertama 2023, dengan ketebalan buku mencapai 241
halaman.
Bedah Buku, Promosi Buku
Dan buku itu kemudian dibedah di pendopo Kabupaten Grobogan dihadiri
ratusan peserta dari kalangan umum, pelajar, guru maupun dosen. Saya dan Pak
Yunus, sebagai penulis, didaulat sebagai narasumber. Pak Yunus membedah bagian
sejarah, sedang saya membedah bagian budaya—yang memang bagian ini saya yang
menulisnya.
Harusnya, lazimnya bedah buku, selain menghadirkan
penulisnya, juga menghadirkan narasumber yang bukan penulis. Namun sepertinya,
bedah buku ini bukan bertujuan membedah isi buku dengan mengkajinya secara
dalam dari perspektif dari luar, tapi tujuannya lebih ke mempromosikan buku.
Sehingga, sejak awal Dinarpusda Grobogan sepertinya sekadar ingin
mempromosikan buku sekaligus menyosialisasikan isi buku ke masyarakat
luas, terutama kepada para pegiat literasi di Kabupaten Grobogan. Targetnya,
agar mereka menjadi lebih tahu dinamika sejarah Grobogan dari masa ke masa, dan
mengetahui khazanah kebudayaan Grobogan yang sangat kaya.
Apalagi, realitanya, setelah bedah buku selesai, banyak yang
mengatakan baru tahu sejarah Grobogan yang luar biasa seperti itu. Juga baru
tahu khazanah kebudayaan Grobogan yang begitu kaya dan penuh pesona.
Sepertinya, bedah buku seperti ini perlu dilanjutkan dan diselenggarakan secara
rutin berkala, sebagai ajang menambah wawasan dan membiasakan tradisi diskursif
yang mencerdaskan.
Diberondong Pertanyaan
Ternyata seru juga bedah buku yang digelar Dinarpusda
Grobogan ini. Setelah dibuka sesi tanya jawab, narasumber langsung diberondong
sejumlah pertanyaan, dari yang biasa hingga yang tajam setajam silet. Dari yang
teknis hingga yang kritis—yang kritis umumnya terkait aspek sejarah dan itu bukan
domain saya, melainkan domain Pak Yunus untuk menjawabnya.
Seperti, setidaknya yang saya ingat dan kemudian saya yang
kebagian menjawabnya, kenapa judul bukunya Grobogan Mempesona, padahal kata mempesona
tidak sesuai ejaan baku bahasa Indonesia?
Bukunya tebal, desain kaver dan penyajiannya membosankan dan
bikin ngantuk? Apakah tidak bisa dibuat yang lebih santai? Sejumlah objek
wisata di Grobogan, seperti goa Lawa dan goa Macan kenapa tidak dikelola dengan
baik padahal sangat bagus? Dan lain-lain, banyak lagi.
Tentang judul, memang dibuat seperti itu untuk menonjolkan
keakraban (familiaritas). Jujur, kata Memesona—meski sesuai
kaedah penulisan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, namun kurang familiar
dan akrab. Kata Mempesona—meski kata tidak baku, tapi lebih akrab dan
komuniatif. Aspek inilah yang (mungkin) dipilih penerbit, karena setelah usai
menulis, soal penerbitan sepenuhnya diserahkan ke penerbit, termasuk editing
dan perumusan judul.
Soal buku yang membosankan, menurut saya, hanya soal sudut
pandang. Pembaca yang terbiasa dengan buku-buku santai dan ringan, seperti buku
fiksi atau komik, memang akan cenderung menghindar dengan buku-buku berat
karena menurutnya membosankan. Tapi berbeda dengan mereka yang punya fokus
terhadap ilmu dan pengetahuan, buku seperti ini akan sangat menggairahkan untuk
dibaca.
Belum Dikelola Secara Maksimal
Saya mendapatkan kesempatan kedua membedah buku Grobogan
Mempesona dari sisi budaya. Tapi sebenarnya saya tidak sedang membedah buku
karena yang saya sampaikan lebih ke mengenalkan budaya-budaya Grobogan yang sangat
kaya dan memang mempesona.
Berfoto bersama usai bedah buku. Sampai jumpa di even selanjutnya. (Dok. Dinarpusda Grobogan) |
Namun, kata saya lebih lanjut, sejauh pengamatan saya, ragam
potensi dan pesona yang menakjubkan itu belum sepenuhnya dikelola dan
dikembangkan secara maksimal. Contohnya ya, seperti yang disampaikan penanya
yang menanyakan mengapa goa Lawa dan goa Macan seperti tidak terurus, walau
sebenarnya merupakan potensi wisata yang sangat bagus.
Kata saya, Api abadi Mrapen dan Bledug Kuwu itu, sesungguhnya
juga potensi kepariwisataan yang sangat bagus, punya narasi dan akar sejarah
dan budaya yang bagus, tapi nyatanya hingga sekarang keduanya belum dikelola
secara baik, sehingga bisa menjadi destinasi wisata favorit.
Malah kalah dengan Candi Joglo yang baru dibuat, lalu
dilengkapi narasi tentang cerita Kerajaan Medang Kamulan, meski secara akar dan
entitasnya sama sekali tidak berhubungan. Tapi Candi Joglo sukses menjadi salah
satu destinasi wisata Grobogan yang banyak pengunjungnya.
Seusai bedah buku, kami pun foto-foto, dengan penyelenggara
dari Dinarpusda Grobogan, maupun dengan para peserta. Tak lupa, ada sesi permintaan
tanda tangan dari peserta, tradisi khas even bedah buku.